Senin, 26 September 2016

DIGITAL DARWINISM



     Chales Darwin, Siapapun yang pernah sekolah pasti mengenal namanya. Jika kalian menjawab Charles Darwin adalah pencetus teori evolusi manusia, berarti buku paket kita sama. 
        Benar Charles Darwin adalah pencetus teori evolusi manusia  yang menyatakan bahwa manusia dulu asalnya dari kera dan meski  dibantah banyak ilmuan pada masa itu tapi tetap saja teorinya muncul di buku-buku Biologi kita sehingga menjadikan namanya sangat familiar bagi anak-anak sekolah. 
           Tapi bukan itu yang ingin saya bahas, yang ingin saya bahas pada artikel kali ini adalah munculnya istilah Digital Darwinism. Digital Darwinsm, saya mendengar istilah ini pertama kali pada kuliah Isu-Isu Kontemporer,  menarik sekali menurut saya.  Meski dikatakan Digital Darwinsm namun bukanlah Charles Darwin pencetus langsung istilah ini, adalah Brian Solis seorang digital analisis, antropolog, dan futuris yang mempelajari  efek teknologi baru pada bisnis dan masyarakat. Seperti Dalam teori evolusi klasik, Charles Darwin telah mengungkapkan bahwa kemampuan adaptasi adalah lebih penting daripada kekuatan atau kecerdasan. Adaptasi, kata inilah yang menginspirasi seorang Brian Solis pada tahun 2006 menulis artikel dengan judul  Digital Darwinism: The End of Business as Usual
Dalam tulisan tersebut Digital Darwinism didefinisikan sebagai fenomena ketika teknologi dan (perilaku) masyarakat berkembang lebih cepat daripada kemampuan (perusahaan/organisasi) untuk beradaptasi. Meski isitilah Digital Darwinsm diperuntukkan untuk perkembangan dunia bisnis, namun tidak bisa dipungkiri bahwa perkembangan dunia bisnis sangat bergantung pada perkembangan dunia teknologi. Fenoma punahnya business as usual merupakan salah satu efek destructive technology berkat berkembang pesatnya teknologi.
        Faktanya digitalisasi telah menyebabkan perubahan perilaku konsumen yang paling terasa dalam beberapa tahun terakhir ini. Misalnya saja kematian toko buku legendaris Borders, berhenti terbitnya edisi cetak beberapa majalah dan koran ternama, Serta menurunnya profit yang dihasilkan toko Blockbuster Movie yang diikuti penutupan gerai-gerai tokonya, di Indonesia sendiri ada ET45, telepon wartel, travel agent konvensional, rental computer, adalah beberapa contoh bisnis yang sudah menunjukkan kemunduran karena tidak dapat beradaptasi dengan perkembangan teknologi, adapatasi digitalisasi inilah yang ditangkap oleh seorang Brian Solis dan mengaitkannya dengan teori Charles Darwin tentang kemampuan beradaptasi sehingga muncullah istilah Digital Darwinism.

Berikut ini digambarkan evolusi teknologi dari masa ke masa.

The Evolution of Technology & Its Impact on the Development of Social Businesses 
(sumber: Todd Wilms, SAP, www.forbes.com, 2010)

     Pada gambar di atas dalam  60an digambarkan bahwa teknologi telah menimbulkan rasa ingin tahu yang besar tetapi belum memberikan pengaruh signifikan pada perilaku konsumen. Pilihan konsumen masih dibatasi oleh jangkauan geografis.
Selanjutnya pada era 70an teknologi berkembang pesat pada dunia pendidikan, tetapi lagi-lagi belum memberikan pengaruh signifikan pada perilaku konsumen. Perusahaan masih mengutamakan pada margin dan profit dibandingkan dengan memenuhi kebutuhan atau memberikan kepuasan pada konsumennya.
     Pengaruh awal teknologi pada perilaku konsumen dimulai pada era 80an dimana komputerisasi mulai merambah rumah tangga dengan munculnya produk Personal Computer. Era ini juga ditandai dengan munculnya generasi awal jaringan komputer yang menghubungkan komputer secara terbatas. Pada era ini pula pilihan konsumen sudah mulai terbuka sehingga kepuasan konsumen sudah mulai mendapat perhatian.
      Pertumbuhan kualitas dan jangkauan jaringan komputer ini semakin tidak terbendung di era 90an dengan perkembangan internet yang menghubungkan komputer dan jaringan komputer secara luas tanpa batas. Informasi semakin transparan dan mudah diperoleh melalui situs-situs perusahaan, meskipun situs tersebut dikembangkan masih dengan maksud memberikan informasi tanpa memberikan ruang cukup bagi konsumen berinteraksi dengan perusahaan.
     Pada awal abad 20, dengan berkembangnya teknologi mobile communication, perilaku konsumen yang difasilitasi teknologi semakin mendorong perusahaan untuk berubah dan menyesuaikan diri. Teknologi merambah segala sisi kehidupan namun belum terintegrasi secara baik, sehingga yang dihadapi eforia perkembangan teknologi yang dianalogikan sebagai ledakan tak terkendali.
Pada penguhujung dekade pertama abad 20 perkembangan teknologi semakin terintegrasi penuh dengan kehidupan sehari-hari manusia. Konsumen memiliki akses penuh pada pilihan produk dan layanan untuk memenuhi kebutuhannya. Perusahaan pun telah menggeser fokus perhatiannya pada upaya mengenali kebutuhan dan cara men-deliver produk/layanannya untuk memenuhi kebutuhan konsumennya tersebut.

     At the end of the day, seperti kata Charles Darwin, kemampuan beradaptasi lebih penting dari kekuatan dan kecerdasan, "Adapt or Die"

REFERENSI

Solis,Brian 2006. "Digital Darwinism: The End of Business As Usual". (http://www.briansolis.com/?s=digital+darwinism&post_type=post&search_button=Search)  
Solis, Brian. 2006. The End of Business As Usual: Rewire the Way You Work to Succeed in the Consumer Revolution”. (Online) 
Solis, Brian. 2010. "Digital Darwinism: How Disruptive Technology Is Changing Business for Good" (https://www.wired.com/insights/2014/04/digital-darwinism-disruptive-technology-changing-business-good/) 


Rabu, 14 September 2016

TEKNOLOGI RFID SEBAGAI IMPLEMENTASI IOT DI PERPUSTAKAAN

Dunia saat ini sedang memulai era Internet of Thing, dimana semua benda dimuka bumi ini memiliki ID khusus yang membuatnya dapat dikendalikan melalui internet dari mana saja dan kapan saja. Fenomena IOT  telah memunculkan banyak tenologi baru yang memungkinkan penerapannya disegala bidang kehidupan, termasuk perpustakaan.
Salah satu teknologi implementasi dari IOT yang kini sedang dikembangkan dan mulai digunakan di perpustakaan adalah teknologi RFID. Radio Frequency Identification (RFID) adalah teknologi identifikasi otomatis dengan menggunakan gelombang elektromagnetik untuk transmisi dan menerima informasi yang tersimpan dalam tag atau transponder atas permintaan RFIDreader (Jin Li and Cheng Tau, 2006) (Amin R, L Yang, Manoz T, 2009). Suatu sistem berbasis teknologi RFID memiliki beberapa keuntungan dibanding dengan identifikasi konvensional seperti rentang membaca lebih tinggi, lebih cepat transfer data, kemampuan RFID tag yang dapat ditanam kedalam suatu objek atau benda, dan juga kemampuan untuk membaca tagdalam jumlah yang besar secara bersamaan. (W-K. J, S. S Peng dan W-H Huang 2008)
Suatu sistem RFID secara utuh terdiri atas 3 komponen:
Ø Tag RFID, dapat berupa stiker, kertas atau plastik dengan beragam ukuran. Didalam setiap tag ini terdapat chip yang mampu menyimpan sejumlah informasi tertentu.
Ø Terminal Reader RFID, terdiri atas RFID-reader dan antenna yang akan mempengaruhi jarak optimal identifikasi. Terminal RFID akan membaca atau mengubah informasi yang tersimpan didalam tag melalui frekuensi radio. Terminal RFID terhubung langsung dengan sistem Host Komputer.
Ø Host Komputer, sistem komputer yang mengatur alur informasi dari item-item yang terdeteksi dalam lingkup sistem RFID dan mengatur komunikasi antara tag dan reader. Host bisa berupa komputer stand-alone maupun terhubung ke jaringan LAN / Internet untuk komunikasi dengan server.

     Selain berfungsi sebagai tag identifikasi, tag RFID juga memiliki berbagai fitur sekuritas bawaan (built-in) sehingga dapat dikembangkan sebagai pondasi infrastruktur pengendalian. Layanan self-service diwujudkan dengan sebuah perangkat Smart Self-Service Kiosk. Perangkat ini merupakan perpaduan dari: komputer, smartcard reader, terminal RFID, dan Self-Check-In Box. Dengan kartu anggota berbasis smartcard, keabsahan status anggota dapat diverifikasi dengan memasukkan kartu anggota ke smartcard-reader dan memasukkan PIN. Verifikasi dapat diperkuat dengan menggunakan sidik jari. Seluruh koleksi yang akan dipinjam akan diidentifikasi, tag di setiap koleksi akan diperbaharui dengan informasi peminjam, sehingga koleksi dapat melewati gerbang deteksi tanpa memicu alarm pencurian. Untuk mengembalikan koleksi tidak perlu menggunakan layanan loket, cukup memasukkan seluruh koleksi ke Self-Check In Box. Boks khusus ini akan otomatis mendeteksi koleksi dan identitas peminjam, serta memperbaharui database perpustakaan.

                               Image result for CARA KERJA SISTEM RFID
                                                              Cara Kerja Sistem RFID
                                                       Sumber:http://ciptaalphateknologi.com/ 

                                       

Namun, tentu saja setiap kemunculan teknologi baru menimbulkan kecemasan klasik di kalangan pustakawan sebagai tenaga konfensional sebuah perpustakaan, yaitu "Kalau sudah begini apa lagi fungsi pustakawan?"  


REFERENSI
Berliana, Topan, 2005 Perpustakaan Masa depan dengan teknologi RFID Gamatechno.www.irfnet.org/files-upload/pdf-files/company_profile_gamatech
Maryono, Dasar-dasar Radio Fequensi Identification (RFID) Teknologi yang Berpengaruh di Perpustakaan. Media Informasi vol XIV no.20 Tahun 2005
Supriyono, 2009 Penerapan RFID di bidang Perpustakaan, UGM, Yogyakarta

TEKNOLOGI RFID SEBAGAI IMPLEMENTASI IOT DI PERPUSTAKAAN

Dunia saat ini sedang memulai era Internet of Thing, dimana semua benda dimuka bumi ini memiliki ID khusus yang membuatnya dapat dikendalikan melalui internet dari mana saja dan kapan saja. Fenomena IOT  telah memunculkan banyak tenologi baru yang memungkinkan penerapannya disegala bidang kehidupan, termasuk perpustakaan.
Salah satu teknologi implementasi dari IOT yang kini sedang dikembangkan dan mulai digunakan di perpustakaan adalah teknologi RFID. Radio Frequency Identification (RFID) adalah teknologi identifikasi otomatis dengan menggunakan gelombang elektromagnetik untuk transmisi dan menerima informasi yang tersimpan dalam tag atau transponder atas permintaan RFIDreader (Jin Li and Cheng Tau, 2006) (Amin R, L Yang, Manoz T, 2009). Suatu sistem berbasis teknologi RFID memiliki beberapa keuntungan dibanding dengan identifikasi konvensional seperti rentang membaca lebih tinggi, lebih cepat transfer data, kemampuan RFID tag yang dapat ditanam kedalam suatu objek atau benda, dan juga kemampuan untuk membaca tagdalam jumlah yang besar secara bersamaan. (W-K. J, S. S Peng dan W-H Huang 2008)
Suatu sistem RFID secara utuh terdiri atas 3 komponen:
Ø Tag RFID, dapat berupa stiker, kertas atau plastik dengan beragam ukuran. Didalam setiap tag ini terdapat chip yang mampu menyimpan sejumlah informasi tertentu.
Ø Terminal Reader RFID, terdiri atas RFID-reader dan antenna yang akan mempengaruhi jarak optimal identifikasi. Terminal RFID akan membaca atau mengubah informasi yang tersimpan didalam tag melalui frekuensi radio. Terminal RFID terhubung langsung dengan sistem Host Komputer.
Ø Host Komputer, sistem komputer yang mengatur alur informasi dari item-item yang terdeteksi dalam lingkup sistem RFID dan mengatur komunikasi antara tag dan reader. Host bisa berupa komputer stand-alone maupun terhubung ke jaringan LAN / Internet untuk komunikasi dengan server.

     Selain berfungsi sebagai tag identifikasi, tag RFID juga memiliki berbagai fitur sekuritas bawaan (built-in) sehingga dapat dikembangkan sebagai pondasi infrastruktur pengendalian. Layanan self-service diwujudkan dengan sebuah perangkat Smart Self-Service Kiosk. Perangkat ini merupakan perpaduan dari: komputer, smartcard reader, terminal RFID, dan Self-Check-In Box. Dengan kartu anggota berbasis smartcard, keabsahan status anggota dapat diverifikasi dengan memasukkan kartu anggota ke smartcard-reader dan memasukkan PIN. Verifikasi dapat diperkuat dengan menggunakan sidik jari. Seluruh koleksi yang akan dipinjam akan diidentifikasi, tag di setiap koleksi akan diperbaharui dengan informasi peminjam, sehingga koleksi dapat melewati gerbang deteksi tanpa memicu alarm pencurian. Untuk mengembalikan koleksi tidak perlu menggunakan layanan loket, cukup memasukkan seluruh koleksi ke Self-Check In Box. Boks khusus ini akan otomatis mendeteksi koleksi dan identitas peminjam, serta memperbaharui database perpustakaan.

                               Image result for CARA KERJA SISTEM RFID
                                                              Cara Kerja Sistem RFID
                                                       Sumber:http://ciptaalphateknologi.com/ 

                                       

Namun, tentu saja setiap kemunculan teknologi baru menimbulkan kecemasan klasik di kalangan pustakawan sebagai tenaga konfensional sebuah perpustakaan, yaitu "Kalau sudah begini apa lagi fungsi pustakawan?"  


REFERENSI
Berliana, Topan, 2005 Perpustakaan Masa depan dengan teknologi RFID Gamatechno.www.irfnet.org/files-upload/pdf-files/company_profile_gamatech
Maryono, Dasar-dasar Radio Fequensi Identification (RFID) Teknologi yang Berpengaruh di Perpustakaan. Media Informasi vol XIV no.20 Tahun 2005
Supriyono, 2009 Penerapan RFID di bidang Perpustakaan, UGM, Yogyakarta

Kamis, 08 September 2016

CYBORG bukan lagi fiksi

Cyborg, merupakan singkatan dari Cybernetic Organism (Organisme Sibernetik). Istilah ini diciptakan oleh Manfred Clynespada tahun 1960 guna menggambarkan kebutuhan manusia untuk meningkatkan fungsi biologis artifisial dalam bertahan hidup pada ruang lingkup dari lingkungan yang tak bersahabat.
Cyborg adalah hibrid dari mesin dan organime. Cyborg merupakan perpaduan antara mesin dan makhluk hidup, keduanya di hubungkan dengan kabel. Otak dari makhluk hidup di  pindahkan ke dalam tubuh robot dan dijaga agar tetap hidup dalam keadaan khusus. Otak ini selanjutnya dapat menerima sinyal dan pada gilirannya mengirimkan perintah untuk meggerakkan mesin (Williams dan Sawyer, 2007).
Dalam wikipedia.org, istilah cyborg digunakan untuk menyatakan campuran (sintetik) bagian-bagian organik dan mekanikal. Secara umum, tujuannya untuk menambah atau meningkatkan kemampuan dari organisme dengan memanfaatkan teknologi. Kini, setelah bertahun-tahun lamanya, istilah cyborg memperoleh arti yang lebih umum untuk menggambarkan ketergantungan manusia pada teknologi. Dalam pengertian ini, istilah cyborg dapat digunakan untuk mengkarakterisasi siapa saja yang bergantung pada perangkat teknologi, bahkan komputer untuk menyelesaikan pekerjaan sehari-hari sekalipun. Para ahli menegaskan Cyborg sebenarnya sudah ada di sekitar kita selama ini. "Cyborg adalah nenek Anda yang menggunakan alat bantu pendengaran, pinggul tiruan, dan siapa saja di sekitar Anda yang selalu menggunakan earset Bluetooth di telinganya," ujar Kosta Grammatis, seorang insinyur di proyek Eyeborg. Banyak ilmuwan melihat dunia modern telah dihuni Cyborg sejak lama, mereka yang mengenakan pakaian robot eksoskeleton, organ prostetik, alat pacu jantung, kaki palsu, dan bahkan sekadar kacamata.
 Namun, sebagian orang meyakini bahwa cyborg adalah sesuatu yang setengah manusia dan setengah mesin. Semisal Terminator, adalah sebuah robot yang tercakup dalam jaringan manusia. Terminator bukanlah cyborg sesungguhan, tetapi sekedar sebuah fiksi. Sampai saat ini, orang masih membedakan cyborg menjadi dua macam, yaitu cyborg fiksi dan cyborg non-fiksi. Apakah pada masa mendatang cyborg fiksi akan menjadi cyborg non-fiksi, tampaknya tanda-tanda itu semakin jelas hadir bersamaan dengan hadirnya kecanggihan teknologi. Dan mungkin pada suatu waktu di masa mendatang, cerita-cerita tentang penguasaan cyborg atas dunia ini sungguh akan menjadi kenyataan.

DAFTAR PUSTAKA

Priyanto, Ida Fajar. 2016. Culture, Knowledge and Social Informatics, Materi Kuliah Isu-isu Kontemporer Informasi. Yogyakarta: 

William dan Sawyer. 2007.Using Information Technologi.Yogyakarta:Andi